Siang itu terasa terlalu terik.
Membuatku tak dapat menahan haus. Pejalaran terakhir hari sabtu,di kelas jurusan IPS memang selalu menjenuhkan.
Bagaimana tidak?
Siang bolong begitu harus belajar ilmu akuntansi. Membuat
laporan keuangan yang sebenarnya uannya tidak ada, tidak wujud dan terlalu mengada-ada.
Belum lagi guru pengajarnya, beliau terlalu pintar, bahasa penyampaian materi
nya tak bisa sampai di otakku yang selalu menolak pelajaran hitung-hitungan,
apalagi hari ini harus membahas bab utang piutang, yang dimasukkan ke akun,
dengan nomor faktur palsu yang harus di catat di kolom debet atau kredit, dan…
ah… sebenarnya dari kecil aku lebih suka pelajaran bahasa, biologi, pelajarn
seni rupa, bernyayi, menggambar, dan berpetualang bersama teman-teman PRAMUKA.
Bukan berhitung, perkalian, fisika, kimia, ekonomi metri dan bahkan akuntansi.
Semua angka itu menyebalkan. Kecuali angka seratus pada lembaran warna merah
atau limapuluh pada lembaran warna biru. Aku suka. Bisa aku belikan pulsa, jajan
bakso atau mie ayam mang Edi di kantin sekolah.
Dodi ketua kelas kami mengabarkan
bahwa Pak Ghani guru akuntansi tidak bisa hadir, tapi akan ada guru piket yang
menggantikan. Rasa senang yang hampir saja melonjak dan mewujudkan ekspresi
teriakan ‘Horeee.. ‘ tak jadi ku munculkan. Segera berganti dengan kekecewaan.
Niat ku membeli minuman ke kantin sekolah di jam pelajaran pun aku urungkan.
Aku kembali ke bangku ku, bangku yang
tepat berada di depan meja guru. Kami terdiam menungu kedatangan guru piket
yang katanya akan datang menggantikan pak Ghani. Kami selalu berharap guru
piket yang datang adalah Pak Ariyo atau Bu Wina yang baik hati, tak pernah
galak, atau tak pernah mempermasalahkan tugas yang diberikan dikerjakan dengan
jujur atau hasil contekkan. Yang penting tugas terkumpul. Mereka cukup
menyenangkan. Ku fikir setelah beberapa menit berlalu nanti, aku bisa minta
izin untuk pura-pura ke kamar mandi, demi minuman dingin di kantin Ibu Eko.
“Assalamualaikum..”
“Waalaikumsalam..” seisi kelas
kompak menjawab salam. Seseorang mengucapkan salam, dengan suara yang belum
pernah kami dengar. Suara lembut tapi penuh wibawa, sangat enak di tangkap
telinga. Sesosok mahluk laki-laki jangkung atletis, wajah ganteng manis, hidung
mancung, berkemeja biru, melangkahkan kakinya dengan mantap menuju kursi duduk tepat
di depanku. Mataku terbelalak tak berkedip menatap sosok itu. Ia melemparkan
senyuman yang teramat manis, membuat ku menahan nafas sejenak menikmatinya.
Sayangnya si ganteng hanya menyimpan buku absen dan buku sumber di meja itu.
Lalu kembali ke tengah-tengah ruangan.
Di depan kelas, orang itu memulai
perkenalan. Namanya Prayoga Lintang Mahardika. Namun dia bilang kepada kami
cukup memanggil nya Pak Yoga saja. Nama yang bagus, pantas, klik dengan orannya. Gagah, sempuran. Ia
menyebutkan tanggal lahir dan tahunya. Diam-diam ku catat. Ku fikir suatusaat
aku bisa menjadi orang pertama yang menucapkan kaliamat ‘Selamat Ulan Tahun’
kepadanya. Masih muda rupanya. Terntaya usianya hanya terpaut 5 tahun di atas
ku. Saat ini dia sedang mengikuti
program Magister di salahsatu Universitas di kota kami. Dia adalah guru
baru, baru masuk dua hari yang lalu.
Tak banyak yang diterangkan
kepada kami tentang pribadinya hanya seperlunya saja. Kemudian ia melanjutkan
menjelaskan tentang tugas yang kami dapat dari pak Ghani dan sekilas
menginformasikan alasan mengapa pak Ghani berhalangan hadir. Aku fikir itu tak
penting, yang terpenting adalah hari ini aku benar-benar merasa bahwa aku telah
bertemu dengan pangeran tampan dari kahyangan.
Tugas akuntansi harus segera
terkumpul 45 menit lagi. Aku berusaha keras agar jawabanku benar. Entah kenapa
semangatku kali itu muncul dengan hebatnya. Otak ku juga mendadak encer dan
begitu mudah menerima penjelasan tentang cara mengerjakannya dari Irni teman
kami yang paling jago pelajaran Akuntansi. Aku berfikir, coba dari dulu yang
jadi guru akuntansi kami adalah Irni teman ku sendiri, mungkin aku lebih pandai
lagi. Tapi ah… aku merasa otak ku terbuka bukan hanya karena cara penyampaian
Irni, tapi karena senyuman mans itu, ya… senyum pak Yoga begitu manis. Jika aku
ingat saat ia tersenyum manis kepadaku langsung ada rasa yang hangat di dadaku,
jantungku berdatak kencang, lalu bibirku pasti tersenyum membayangkan itu.
Tugasku terselesaikan dengan baik
setelah terlebih dahulu aku meminta pendapat Irni, dan Irni membenarkan, baru
aku kumpulkannya ke depan, ke meja Guru. Saat kaki ku akan melangkah ke sana ada
perasaan yang begitu berat, seolah kaki ku terikat rantai besar digembok ke
tembok beton. Ada degupan jantung yang kencang, ada rasa malu yang bukan malu
sebenarnya. Aku gerogi…
Pak Yoga menatapku, memperhatikan
langkah ku dengan senyum manisnya. Rasanya aku ingin pingsan saja di sana,
jatuh ke pangkuannya lalu aku tersadar dan pura-pura masih pingsan. Akan ku
nikmati aroma Parfumnya, dan ku nikmati hangat tubuhnya, dan… “Kamu… cepat
kumpulkan hasil pekerjaannya! Jalan kok sambil bengong begitu… “. Deg, terasa
ada yang menghantam dada ku, kalimat itu mengagetkanku. Aku beringsut menyegerakan
langkahku dan menyimpan buku tugas ku di meja itu. Tanpa berani manatap guru
ganteng yang duduk di belakang meja.
*
Bel pulang berbunyi. Aku sengaja
menolak tawaran Mina untuk pulang bareng. Aku bilang ‘Ada urusan sebentar’.
Padahal aku ini mencari seseorang. Pak Yoga.
Aku melangkah melewati koridor
sekolah. Sekolah sudah tampak lengang, sebagian besar siswa sudah maninggalkan sekolah.
Hanya beberapa yang tetap tinggal untuk mengikuti kegiatan ekstrakurikuler sore
ini. Aku sendiri mengikuti ekskul PMR tapi hari ini tak ada jadwal latihan. Di
depan ruangan guru langkahku terhenti, aku mencari sosok guru yang tadi masuk
di jam terakhir. Aku mengintip dari balik jendela ruangan guru, tapi sosok itu
tak ada. Aku putus asa, fikirku, ya sudahlah, besok mungkin bisa kutemui lagi.
Aku melanjutkan langkahku, menuju pintu gerbang.
Di tempat parkir, aku melihat Pak
Yoga sedang melepas rantai sepeda. Ternyata
guru keren itu tidak hanya keren, tapi sungguh ia bersahaja. Disaat orang lain
heboh menampilkan kendaraan yang paling keren, mobil atau motor keluaran
terbaru ia masih siap menggowes sepeda untuk pergi ke tempat kerja. Aku berlari
menghampiri pak Yoga. Pura-pura menyapa, basa-basi. “Pulang nya naik sepeda pa?”.
Orang yang ditanya tersenyum, lalu mnjawab dengan lembut, “Iya… memangnya
kenapa? Aneh ya? Heheh…”. Aku tersipu, agak gugup ternyata Pak Yoga tak lepas
menatapku. Ia bener-benar pandai berkomunikasi, ketika berbicara selalu menatap
lawan bicara dengan pandangan dan mimik muka sangat menyenangkan, sopan, dan
mengagumkan. Aku terpukau…
“Hey!, bengong!” Suara itu
mengagetkanku. Ah… rasanya aku malu sekali, tertangkap basah sedang asik
memandangi pak Yoga. “Eh, gak apa-apa pak”. Aku menjawab sekenanya. Pak yoga
kembali tersenyum. “Pulangnya ke arah mana?” Pak Yoga kembali bertanya. “Ke
jalan Batu Jajar Pak… “. Pak Yoga menuntun sepedanya, melangkahkan kaki.
Sepedanya tidak dinaiki, ia berjalan mengimbangi langkah kaki ku. “Saya juga
pulang dengan arah yang sama. Dua tahun terakhir ini saya tinggal di Panti,
yayasan milik paman saya. Mngasuh anak-anak yatim setiap hari.”. Oh.. benarkah?
Hebat sekali orang ini, sudah baik, ganteng, masih muda tapi punya kepedulian
yang tinggi terhadap anak-anak Yatim. Entah untuk yang keberapa kali nya rasa
kagum ku bertambah-tambah kepadanya. Padahal baru beberapa jam saja aku
mengenalnya. Hari itu aku baru tahu jika Yayasan Panti asuhan besar yang ada di
sebrang jalan itu adalah yayasan milik keluarga besar Pak Yoga. Kanapa aku baru
tahu ya?
“Oiya, namamu siapa?” Pak Yoga
baru mengajukan pertanyaan tentan namaku. Asik… “Aku Afni Pak, Afni NurAzmi”
aku menyebutkan namaku dengan jelas, berharap pak Yoga bisa mengingatnya, dan
mencatat dalam hatinya. Heheh…
Sepanjang jalan kami hanya
bercakap-cakap tentang seputar sekolah, pak Yoga bisa jadi sedang menggali
informasi tentang tempat kerja barunya. Di sini aku lebih tahu daripadanya. Karena
sekarang aku kelas XII itu berarti aku sudah hampir tiga tahun mengenal sekolah
kami. Tapi walaupun tak ada topik yang istimewa perbincangan itu sangat
berkesan bagiku. Hari itu aku pulang ke rumah dengan perasaan senang yang luar
biasa.
*
Hari itu hari minggu. Aku dan teman dekatku telah
mengatur janji akan malakukan jogging bareng ke taman. Taman Raflesia di alun-alun
kota. Hampir setiap hari mingu aku ke sana, sekedar berolahraga, bersepeda,
atau bahkan hanya jalan kaki, untuk kemudian menikmati sarapan jajanan yang
banyak dijual di sana. Kue serabi, baso tahu, kupat tahu, lontong kari, tahu
gejrot, nasi kuning, bubur ayam, semuanya ada. Lengkap, berderet di trotoar
jalan setiap hari minggu. Jalanan menyempit, banyak orang brlalu-lalang,
berolahraga, jajan, makan, dan apapun yang dilakukan mereka. Dengan pasangan,
pacar, keluarga, teman, bahkan dengan gebetan.
Setelah puas berkeliling aku dan
Mina temanku selalu menyempatkan mampir ke tempat Mang Udin berjualan. Cilok
Cinta. Begitu yang Mang Udin Tulis di gerobak nya. Cilok nya sangat enak,
mantap, lain dari yang lain, setiap mangkal Mang Udin pasti dikerumuni oleh
para gadis remaja yang doyan makan cilok, termasuk aku yang ikut berkerumun
saat itu. Mang Udin melayani setiap pesanan dengan sangat cekatan, sambil terus
berbicara dengan candaan mang Udin yang khas.
Kami menikmati jajanan di tempat
duduk yang biasa kami duduki setiap aku dan Mina ke sana. Menurut kami itu
adalah tempat paling strategis untuk memandangi orang-otrang yang
berlalu-lalang. Di tengah-tengah kunyahan,
aku menalan ludah seketika. Melihat siapa yang melintas di depan ku. Serombongan
anak-anak berpakaian santri yang sebenarnya sering aku lihat tapi tak begitu ku
perhatikan, hari itu benar-benar menyita perhatianku. Aku meliht pembimbingnya,
Pak Yoga dengan telaten sibuk membimbing anak-anak itu. Membetulkan jalan
anak-anak yang masih kecil yang keluar dari rombongan atau mengingatkan anak-anak
yang bercanda berlebihan. Aku berlari setelah membuang bungkus makanan yang
belum habis aku makan ke tempat sampah. Meninggalkan Mina yang terbengong di
tempat duduknya. Yang tak lama kemudian Mina segera tahu kemana aku
melangkahkan kakiku.
Aku menghampiri rombongan
anak-anak panti asuhan yang berhenti di bawah pohon rindang, mereka duduk
beristirahat, membuka bekal makanan yang telah dibagikan oleh rekan meraka yang
paling besar. Pak Yoga tampak santai memandu mereka penuh perhatian dan kasih sayang.
Lagi-lagi laki-laki itu selalu menyit a perhatianku. Apalagi hari itu ia
mengenakan kaos hitam dan celana olahraga panjang berwarna biru tua, membuat
kulit nya yang bersih semakin jelas terlihat nyata. Pak Yoga tampak keren
sekali dengan kostum itu. Aku semakin suka. Pak Yoga mempersilahan kami
bergabung.
*
Sampai di rumah, bayangan tentang
pak Yoga tak mau hilang. Sampai jam berlalu, hari, minggu, bulan. Aku semakin
mengaguminya. Di sekolah pak Yoga tetap bersikap wajar.menjalani tugas sebagai
guru piket yang sesekali masuk ke kelas untuk menggantikan guru yang
berhalangan hadir. Beberapa yang tidak bisa hadir aku benar-benar
mensyukurinya. Demi harapan agar Pak Yoga yang masuk menggantikannya. Rasa kecewa
akan tibul jika ternyata guru piket lain yang masuk. Tapi tak mengapa toh
bebebrapa bulan terakhir ini aku telah terbiasa menghubunginya lewat telepon
genggam, atau pin BBM nya. Kami biasa berkomunikasi bercerita banyak hal. Terutama
kesulitanku dalam pelajaran. Ia tak sekedar guru untuk ku tapi kakak, sahabat
dan aku sebenarnya berharap lebih, sangat berharap lebih dari itu. Tapi aku
tahu diri, aku hanyalah murid baginya. Walupun terkadang perhatian Pak Yoga
rasanya membuat aku merasa special di hatinya.
Suatu hari pak Yoga pernah
mengatakan bahwa dengan keberadaanku dia menjadi lebih bersemangat bekerja. Dia juga beberapa kali mengajakku ke Panti
asuhan tempat ia mengabdikan diri. Kami semakin dekat. Dan aku semakin berharap
banyak. Tapi pak Yoga etaplah menjadi guruku, guru piket di sekolah kami.
*
Hari ini aku sudah lulus SMU,
kini aku sudah kuliah smester satu di Universitas yang sama dengan Pak Yoga. Program
magisternya hampir tuntas, dan hari indah itu terwujud. Ketika Pak Yoga
menyatakan cinta kepadaku. Kejujuran itu terungkap ketika aku sudah berstatus
mahasiswi. Guruku yang sekarang menjadi kekasihku selalu mengisi hari-hariku.
Yoga pindah bekerja ke salahsatu instansi pemerintah dan diangkat menjadi
pegawai tetap. Aku bahagia memiliki kekasih yang jauh lebih dewasa. Yoga tulus
menjagaku. Ia selalu mendukungku dalam hal apapun yang positif, mengingatkanku
jika kau keliru. Aku sangat nyaman dengannnya. Dan menjanjikan sesuatu yang
lebih indah dari sekedar pernyataan cinta. Yoga akan melamarku jika aku lulus
kuliah nanti. Aku percaya padanya, akan aku jaga cinta ini, akan aku selesaikan
kuliahku secepat mungkin, agar aku segera menjadi miliknya.
“I Love U Pak Guru”.
No comments:
Post a Comment