Search This Blog

Saturday, January 31, 2015

Hujan di Hatiku

Hujan deras yang mengguyur kota ku belum juga reda. Menjadi saksi bisu atas apa yang telah terjadi di sini. Aku diam seribu bahasa, begitupun dirinya. Aku tak tahu apa yang dirasakan dalam hati ku kini setelah kejadian barusan. Dimana aku hampir memukul wajahnya dengan kepalan tangan ku. Dengan gejolak amarah yang untungnya segara bisa aku redam, walaupun sebenarnya aku benar-benar kecewa. 


Aku memang bukan perempuan manja, yang jika tersinggung hanya bisa lari, menuju kamar, menghempaskan  tubuh ke atas kasur lalu menangis sesenggukan. Aku bisa menyerang seseorang yang melukai hatiku dengan sikap kurangajar nya dengan pukulan atau  tinjuan ku. Rasanya tak puas jika aku meningalkannya begitu saja. Namun  saat ini, aku begitu rapuh. Walaupun aku hampir saja mendaratkan kepalan tangan ku  di wajahnya, hari ini aku meneteskan air mata menangisi kejadian ini. Perih menahan sakit  dan menahan bibir agar aku tak mengeluarkan kata-kata caci maki kasar yang hanya akan  menyakiti hatinya. Kuat-kuat kutahan amarah ini. 

Dia adalah seseorang yang katanya mencintaiku dan rasanya benar akupun mencintainya. Namun cintaku murni karena sikapnya yang baik, santun dan caranya memperhatikannku, membuat aku merasa nyaman. Dia yang selalu membiarkan aku bercerita tentang apapapun keluh kesahku, tentang teman, masalah pekerjaan, rutinitas kuliah ku, masalah rumah tangga orang tuaku, ibu tiri ku, dan apapun yang terjadi dalam kehidupannku susah maupun senang. Aku menyukai cara matanya memangdang saat dia mendengarkannku. Dia adalah abang sekaligus kekasih untukku. Walaupun nyataanya aku tak berani berharap banyak kepadanya karena sebenarnya ia telah memiliki istri dan 1 orang anak. Usia kami terpaut 11 tahun.

Dia datang padaku 2 tahun yang lalu. Awalnya dia hanya ku kenal sebagai kakak senior dalam ogranisasi kemanusiaan yang aku geluti. Bagi semua junior ramaja dia adalah sosok kakak senior terbaik, selalu membuka tangan lebar-lebar untuk menolong siapapun (juniornya terutama) yang memerlukan bantuan atau sekedar ingin mencari solusi masalah yang dialami, baik masalah dalam tugas, ataupun masalah pribadi sekalipun. Kepandainnya dalam berkomunikasi dan caranya memberi solusi meyakinkan kami para “pencurhat” untuk mengikuti setiap saran yang diberikannya. Tutur kata bahasanya tenang, membuat nyaman. Suaranaya lemah lembut menenangkan. 

Beberapa kali akupun mencurahkan cerita pilu hatiku tentang kekecewaanku terhadap sikap pacarku yang berselingkuh, dan ia menyarankan untuk aku memutuskan hubungan kami. Sudah kulakukan atas saran baik nya. Dia bilang agar aku move on karena ada banyak laki-laki baik menunggu ku di sana. Namun entah kenapa kini hatiku tersangkut padanya, hari-hari ku, ku gantungkan pada senyumannya yang manis dan selalu tulus.. Aku tak tahu mengapa setahun terakhir ini aku semakin dekat dengannya, kami sering makan bersama di sela-sela kesibukan ataupun melakukan kegiatan bersama dengannya. Nyaman saja untuk ku. 

Dan tiga bulan yang lalu, entah aku harus bahagia atau harus merasakan apa, tiba-tiba di bawah rintik hujan saat kami berteduh di emperan toko sore itu, dia menyampaikan sesuatu kepadaku. Dia bilang  “andai saja aku tak segera menikah waktu itu, maka ketika aku menemui mu kini, kau lah yang akan aku jadikan istri Lusi…”. Aku hanya bisa menelan ludah, bingung jawaban apa yang harus aku lontarkan. Satu sisi aku bahagia karena ternyata perasaanku tidak bertepuk sebelah tangan, sisi lain, aku kecewa karena sekali lagi aku sadar, ia adalah lali-laki beristri dengan satu orang anak.

Semenjak aku tahu dia mencintaiku entah setan apa yang menguasaiku, setan itu mengatakan “jalani saja selama kau nyaman, bukankah saat ini kamu sedang  membutuhkan seseorang yang cukup mengerti perasaanmu, mengobati kekecewaanmu setelah diselingkuhi, dan juga butuh teman pelarian saat kamu kecewa dengan sikap ayah mu yang kini lebih mementingkan si ibu tiri yang montok dan menyebalkan itu?”. Sisi baik dalam hatiku pun tak mau kalah. Ia membisikkan sesuatu : “jangan Lusi.. tindakannmu hanya akan membuat boomerang untuk mu sendiri, dan ingatlah di samping bang Iyan ada Mbak Ratih dan anaknya, yang sangat mencintainya. Apakah kau tega? Bukankah kau juga  perempuan yang selalu berharap laki-lakimu setia?” aaaarrgh… semua itu selalu membebani fikiranku beberapa bulan terakhir ini. Tapi entah kenapa perasaan ini semakin cepat tumbuh subur di hatiku. 

Sesekali aku berusaha menghindar dari Bang Iyan, aku tak mau rasa ini terlalu cepat berkembang. Bahakan sering aku berniat membunuh rasa ini. Namun padatnya kegiatan dalam oranisasi ku, membuatku kesulitan untuk melakukannya. Senyumannya selalu dapat kulihat jelas, kemahirannya dalam menyampaikan materi, atau mempresentasikan program kegiatan selalu membuat aku terpukau. Aku semakin kagum…

Tapi sejauh ini kedekatan kami masih dalam batas normal hanya sebagai teman curhat, partner kerja, adik dan abang. Bnag Iyan pun tak pernah menunjukkan reaksi berlebihan. Seolah-olah ia lupa bahwa ia pernah menyatakan harapan nya kepadaku di bawah atap emper toko itu. Bang Iyan lebih memperlakukanku seperti adik baginya. Itu yang membuat aku semakin nyaman denannya. Aku merasakan kasih syangnya, tapi tak perlu takut Rumah tangga bang Iyan bermasalah. Karena sejauh ini mereka baik-baik saja. Bahkan pernah beberapa kali aku diajaknya makan malam di rumah bang Iyan. Tentunya dengan kawan-kawan lain seorganisasi. Aku bertemu Mbak Ratih, cantik, ramah, baik hati. Yang melayanai bang Iyan di hadapanku dengan mesranya. Membuat aku cemburu.

Namun hari ini rasanya aku kehilangan dia. Kehilangan orang yang aku kagumui karena kesantunannya. Orang yang kini diam duduk di hadapanku bukan lagi orang yang aku kenal, bukan lagi orang yang menyayangiku, dan selalu melindungiku. Melainkan seseorang yang sangat berambisi ingin memilikiku, dan telah melakukan kesalahan besar dan membuat aku kecewa.

Dengan tatapan mata kosong, direguknya  air hangat dalam cangkir yang aku suguhkan sampai habis. Seraya menghela nafas panjang , penuh sesal dia mengulangi kata-katanya. Sampai aku bosan mendengarnya. Dia berusaha meraih tanganku, memaksa ingin menggenggam, seolah tak ada damai dalam hatiinya jika permohonan maaf itu tak dibarengi dengan menjabat tanganku. Aku iba, tapi rasa kecewa dalam hatiku tak jua menghilang. Aku kesal dengan sikap nya yang berusaha menggodaku, memelukku, bahkan tadi.. arrrggh.. dia berusaha mencium bibirku dengan paksa. Aku meronta, melawan kuatnya tenaga laki-laki yang bertambah tenaganya ketika setan menguasai akal sehatnya. Aku marah, kesal, dan hampir memukulnya. Dadaku rasanya ingin meledak menahan semua amarah yang ada.  Ingin ku usir saja dia dalam derasnya hujan. Ingin kubiarkan dia mengigil kedinginan sampai dia sakit demam, panas, tepar, dan merasakan penyesalan yang tak berujung telah berani bersikap kurang ajar kepadaku. Ingin Ku tutup pintu dan menguncinya takan lagi aku buka untuk nya. Tapi aku sadar, dia melakukan itu semua karena rasa sayang nya kepadaku. Dan akupun memang pernah begitu menantikannya, menanti pinangannya suatu saat nanti ketika Tuhan mengizinkan waktu itu datang. Walaupun kutahu itu adalah mimpi yang benar-benar gila. Karena ia adalah laki-laki beristri dengan satu orang anak. 

Setelah kejadian itu, aku hilang naluri. Hatiku mati rasa kepadanya seketika. Karena bukan itu, bukan itu semua yang aku inginkan. Aku hanya ingin mendapatkan rasa damai, aman, nyaman di dekatnya. Tanpa harus ada kontak fisik apapun. Toh dia kan suami orang. Aku benci semua ini. Hari ini aku hampir saja terbunuh nafsunya…

“maaf…, aku mohon… maafkan aku, aku sadar aku salah… aku malu Lusi, seharusnya aku lebih dewasa daripada kau.. maaf Lusi, Maaf..” lagi-lagi ia memohon. Aku memalingkan muka tak mau menatap wajahnya.
 Adzan marib berkumandang, lalu aku memberi isyarat. “pulanglah.. sudah adzan…” wajahnya semakin murung, kecewa dengan pengusiran ku.  Dia pamit, memintaku menjabat tangannya. Aku menjabatnya dengan hati yang hampa, tanpa rasa. Lalu ku antar ia ke pintu gerbang, ku biarkan ia berlalu memecah derasnya hujan. Setelah mengucapkan salam, dia meninggalkanku, tanpa menoleh lagi

Setelah dia pergi, dengan penuh penyesalan, aku menangis sejadinya, tangisan yang aku tahan-tahan akhirnya meledak juga. Air mataku mengalir dengan derasnya. Aku tahu, semua yang ia lakukan itu semua semata karena memang begitu adanya, karena memang ia mencintaiku. Aku menyesal kenapa aku memberi harapan yang terlalu besar? Dan kenapa aku harus berani berharap kepadanya, lelaki beristri dengan satu anak. Betapa hina nya aku. Ya Tuhan… Maafkan aku… Mbak Ratih… maafkan Lusi Mbak… 

Untuk mu… Mana mungkin aku bisa membenci sesuatu yang terindah di hatiku. Namun yang aku sesalkan adalah sikapmu kepadaku. Kamu telah menodai kepercayaanku banwa kamu adalah laki-laki yang selalu melindungi  perempuan yang kau cintai. Seperti yang sering kau ceritakan bahwa kau selalu menjaga hatinya mbak Ratih, istrimu. Itu, itu semua yang selalu membuat aku kagum, membuat aku takjub. Tapi sudahlah… biarlah hujan ini melunturkan perasaanku, akan kubiarkan rasa itu hanyut pergi jauh sampai ke samudera sana. Semoga aku bisa


Share/Bookmark

No comments:

Post a Comment