Hujan
deras yang mengguyur kota ku belum juga reda. Menjadi saksi bisu atas apa yang
telah terjadi di sini. Aku diam seribu bahasa, begitupun dirinya. Aku tak tahu
apa yang dirasakan dalam hati ku kini setelah kejadian barusan. Dimana aku hampir
memukul wajahnya dengan kepalan tangan ku. Dengan gejolak amarah yang untungnya
segara bisa aku redam, walaupun sebenarnya aku benar-benar kecewa.
Aku
memang bukan perempuan manja, yang jika tersinggung hanya bisa lari, menuju
kamar, menghempaskan tubuh ke atas kasur
lalu menangis sesenggukan. Aku bisa menyerang seseorang yang melukai hatiku
dengan sikap kurangajar nya dengan pukulan atau
tinjuan ku. Rasanya tak puas jika aku meningalkannya begitu saja.
Namun saat ini, aku begitu rapuh.
Walaupun aku hampir saja mendaratkan kepalan tangan ku di wajahnya, hari ini aku meneteskan air mata menangisi
kejadian ini. Perih menahan sakit dan
menahan bibir agar aku tak mengeluarkan kata-kata caci maki kasar yang hanya
akan menyakiti hatinya. Kuat-kuat kutahan
amarah ini.
Dia
adalah seseorang yang katanya mencintaiku dan rasanya benar akupun
mencintainya. Namun cintaku murni karena sikapnya yang baik, santun dan caranya
memperhatikannku, membuat aku merasa nyaman. Dia yang selalu membiarkan aku
bercerita tentang apapapun keluh kesahku, tentang teman, masalah pekerjaan, rutinitas
kuliah ku, masalah rumah tangga orang tuaku, ibu tiri ku, dan apapun yang terjadi
dalam kehidupannku susah maupun senang. Aku menyukai cara matanya memangdang
saat dia mendengarkannku. Dia adalah abang sekaligus kekasih untukku. Walaupun
nyataanya aku tak berani berharap banyak kepadanya karena sebenarnya ia telah
memiliki istri dan 1 orang anak. Usia kami terpaut 11 tahun.
Dia
datang padaku 2 tahun yang lalu. Awalnya dia hanya ku kenal sebagai kakak
senior dalam ogranisasi kemanusiaan yang aku geluti. Bagi semua junior ramaja
dia adalah sosok kakak senior terbaik, selalu membuka tangan lebar-lebar untuk
menolong siapapun (juniornya terutama) yang memerlukan bantuan atau sekedar
ingin mencari solusi masalah yang dialami, baik masalah dalam tugas, ataupun
masalah pribadi sekalipun. Kepandainnya dalam berkomunikasi dan caranya memberi
solusi meyakinkan kami para “pencurhat” untuk mengikuti setiap saran yang
diberikannya. Tutur kata bahasanya tenang, membuat nyaman. Suaranaya lemah
lembut menenangkan.
Beberapa
kali akupun mencurahkan cerita pilu hatiku tentang kekecewaanku terhadap sikap
pacarku yang berselingkuh, dan ia menyarankan untuk aku memutuskan hubungan
kami. Sudah kulakukan atas saran baik nya. Dia bilang agar aku move on karena
ada banyak laki-laki baik menunggu ku di sana. Namun entah kenapa kini hatiku
tersangkut padanya, hari-hari ku, ku gantungkan pada senyumannya yang manis dan
selalu tulus.. Aku tak tahu mengapa setahun terakhir ini aku semakin dekat
dengannya, kami sering makan bersama di sela-sela kesibukan ataupun melakukan
kegiatan bersama dengannya. Nyaman saja untuk ku.
Dan
tiga bulan yang lalu, entah aku harus bahagia atau harus merasakan apa,
tiba-tiba di bawah rintik hujan saat kami berteduh di emperan toko sore itu,
dia menyampaikan sesuatu kepadaku. Dia bilang
“andai saja aku tak segera menikah waktu itu, maka ketika aku menemui mu
kini, kau lah yang akan aku jadikan istri Lusi…”. Aku hanya bisa menelan ludah,
bingung jawaban apa yang harus aku lontarkan. Satu sisi aku bahagia karena
ternyata perasaanku tidak bertepuk sebelah tangan, sisi lain, aku kecewa karena
sekali lagi aku sadar, ia adalah lali-laki beristri dengan satu orang anak.
Semenjak
aku tahu dia mencintaiku entah setan apa yang menguasaiku, setan itu mengatakan
“jalani saja selama kau nyaman, bukankah saat ini kamu sedang membutuhkan seseorang yang cukup mengerti
perasaanmu, mengobati kekecewaanmu setelah diselingkuhi, dan juga butuh teman
pelarian saat kamu kecewa dengan sikap ayah mu yang kini lebih mementingkan si
ibu tiri yang montok dan menyebalkan itu?”. Sisi baik dalam hatiku pun tak mau
kalah. Ia membisikkan sesuatu : “jangan Lusi.. tindakannmu hanya akan membuat
boomerang untuk mu sendiri, dan ingatlah di samping bang Iyan ada Mbak Ratih
dan anaknya, yang sangat mencintainya. Apakah kau tega? Bukankah kau juga perempuan yang selalu berharap laki-lakimu
setia?” aaaarrgh… semua itu selalu membebani fikiranku beberapa bulan terakhir
ini. Tapi entah kenapa perasaan ini semakin cepat tumbuh subur di hatiku.
Sesekali
aku berusaha menghindar dari Bang Iyan, aku tak mau rasa ini terlalu cepat
berkembang. Bahakan sering aku berniat membunuh rasa ini. Namun padatnya
kegiatan dalam oranisasi ku, membuatku kesulitan untuk melakukannya.
Senyumannya selalu dapat kulihat jelas, kemahirannya dalam menyampaikan materi,
atau mempresentasikan program kegiatan selalu membuat aku terpukau. Aku semakin
kagum…
Tapi
sejauh ini kedekatan kami masih dalam batas normal hanya sebagai teman curhat,
partner kerja, adik dan abang. Bnag Iyan pun tak pernah menunjukkan reaksi
berlebihan. Seolah-olah ia lupa bahwa ia pernah menyatakan harapan nya kepadaku
di bawah atap emper toko itu. Bang Iyan lebih memperlakukanku seperti adik
baginya. Itu yang membuat aku semakin nyaman denannya. Aku merasakan kasih
syangnya, tapi tak perlu takut Rumah tangga bang Iyan bermasalah. Karena sejauh
ini mereka baik-baik saja. Bahkan pernah beberapa kali aku diajaknya makan
malam di rumah bang Iyan. Tentunya dengan kawan-kawan lain seorganisasi. Aku
bertemu Mbak Ratih, cantik, ramah, baik hati. Yang melayanai bang Iyan di
hadapanku dengan mesranya. Membuat aku cemburu.
Namun
hari ini rasanya aku kehilangan dia. Kehilangan orang yang aku kagumui karena
kesantunannya. Orang yang kini diam duduk di hadapanku bukan lagi orang yang
aku kenal, bukan lagi orang yang menyayangiku, dan selalu melindungiku. Melainkan
seseorang yang sangat berambisi ingin memilikiku, dan telah melakukan kesalahan
besar dan membuat aku kecewa.
Dengan
tatapan mata kosong, direguknya air
hangat dalam cangkir yang aku suguhkan sampai habis. Seraya menghela nafas
panjang , penuh sesal dia mengulangi kata-katanya. Sampai aku bosan
mendengarnya. Dia berusaha meraih tanganku, memaksa ingin menggenggam, seolah
tak ada damai dalam hatiinya jika permohonan maaf itu tak dibarengi dengan
menjabat tanganku. Aku iba, tapi rasa kecewa dalam hatiku tak jua menghilang.
Aku kesal dengan sikap nya yang berusaha menggodaku, memelukku, bahkan tadi.. arrrggh..
dia berusaha mencium bibirku dengan paksa. Aku meronta, melawan kuatnya tenaga
laki-laki yang bertambah tenaganya ketika setan menguasai akal sehatnya. Aku
marah, kesal, dan hampir memukulnya. Dadaku rasanya ingin meledak menahan semua
amarah yang ada. Ingin ku usir saja dia
dalam derasnya hujan. Ingin kubiarkan dia mengigil kedinginan sampai dia sakit
demam, panas, tepar, dan merasakan penyesalan yang tak berujung telah berani bersikap
kurang ajar kepadaku. Ingin Ku tutup pintu dan menguncinya takan lagi aku buka
untuk nya. Tapi aku sadar, dia melakukan itu semua karena rasa sayang nya
kepadaku. Dan akupun memang pernah begitu menantikannya, menanti pinangannya
suatu saat nanti ketika Tuhan mengizinkan waktu itu datang. Walaupun kutahu itu
adalah mimpi yang benar-benar gila. Karena ia adalah laki-laki beristri dengan
satu orang anak.
Setelah
kejadian itu, aku hilang naluri. Hatiku mati rasa kepadanya seketika. Karena
bukan itu, bukan itu semua yang aku inginkan. Aku hanya ingin mendapatkan rasa
damai, aman, nyaman di dekatnya. Tanpa harus ada kontak fisik apapun. Toh dia
kan suami orang. Aku benci semua ini. Hari ini aku hampir saja terbunuh
nafsunya…
“maaf…,
aku mohon… maafkan aku, aku sadar aku salah… aku malu Lusi, seharusnya aku
lebih dewasa daripada kau.. maaf Lusi, Maaf..” lagi-lagi ia memohon. Aku
memalingkan muka tak mau menatap wajahnya.
Adzan marib berkumandang, lalu aku memberi
isyarat. “pulanglah.. sudah adzan…” wajahnya semakin murung, kecewa dengan
pengusiran ku. Dia pamit, memintaku
menjabat tangannya. Aku menjabatnya dengan hati yang hampa, tanpa rasa. Lalu ku
antar ia ke pintu gerbang, ku biarkan ia berlalu memecah derasnya hujan. Setelah
mengucapkan salam, dia meninggalkanku, tanpa menoleh lagi
Setelah
dia pergi, dengan penuh penyesalan, aku menangis sejadinya, tangisan yang aku
tahan-tahan akhirnya meledak juga. Air mataku mengalir dengan derasnya. Aku tahu,
semua yang ia lakukan itu semua semata karena memang begitu adanya, karena
memang ia mencintaiku. Aku menyesal kenapa aku memberi harapan yang terlalu
besar? Dan kenapa aku harus berani berharap kepadanya, lelaki beristri dengan
satu anak. Betapa hina nya aku. Ya Tuhan… Maafkan aku… Mbak Ratih… maafkan Lusi
Mbak…
Untuk
mu… Mana mungkin aku bisa membenci sesuatu yang terindah di hatiku. Namun yang
aku sesalkan adalah sikapmu kepadaku. Kamu telah menodai kepercayaanku banwa
kamu adalah laki-laki yang selalu melindungi perempuan yang kau cintai. Seperti yang sering
kau ceritakan bahwa kau selalu menjaga hatinya mbak Ratih, istrimu. Itu, itu
semua yang selalu membuat aku kagum, membuat aku takjub. Tapi sudahlah… biarlah
hujan ini melunturkan perasaanku, akan kubiarkan rasa itu hanyut pergi jauh sampai
ke samudera sana. Semoga aku bisa
No comments:
Post a Comment