Malam itu
aku lupa lagi hari apa. yang pasti malam itu tanggal 10 januari 2012. pintu
rumah ku diketuk seseorang. yang sudah dijanjikan akan datang menjemput.
telepon genggam ku tak berhenti berbunyi, banyak SMS masuk, yang isinya hampir
sama : bertanya kabar. semakin terasa janggal, saat sanak sodara yang sama
sekali jarang SMS dan berkomunikasi tiba-tiba mendadak perhatian dengan kabar dan
keadaanku ku malam itu. sok perhatian dan rasanya hanya basa-basi belaka.
suamiku membukakan pintu. aku tetap asik di
kamar. Memainkan laptop mencari hiburan. Mengalihkan pertanyaan dari tanda
Tanya besar, ada apa mereka tiba-tiba menjadi seperhatian itu.
Adik sepupuku datang, memakai kaos oblong.
Mukanya tampak menyembunyikaa sesuatu. Tapi tampak tetap tenang. Dia menyapaku,
“hai teteh.. sehat? Kita kerumah ku yuk, mama n
papa menunggu”
Aku terheran-heran, ada apa lagi ini? Badanku
rasanya sudah lelah, ini jam 10 malam. Inginnya aku tidur saja. Tak mau
kemana-mana. Belum lagi perutku yang semakin membesar, membuatku tambah malas
bepergian. Aku sedang hamil 5 bulan.
Suamiku yang sejak tadi sore merasa ikut
terheran-heran, menolak ajakan sepupuku untuk segera pergi. Terlihat bersitegan
diantara mereka berdua. Kemudian sepupuku menarik tangan suamiku, keluar,
menjauh dari ku. Tak lama kemudian suamiku mendekatiku, muka masam nya berubah
datar. Lalu : “Ayo, kita pergi sekarang!”
Aku semakin tak mengerti, tapi tak berani
bertanya banyak hal. Bergegas aku mengambil tas, dan berganti pakaian. pakaian
panjang, mengenakan sweeter, kerudung, celana panjang sekenanya.
Sekitar 15 menit mobil yang dikemudikan sepupu ku
tiba di pekarangan rumah paman. Rumah yang memiliki halaman luas, belum rapih
di benahi. Paman sedang renovasi rumah. Terlihat di sisi mobil paman yang lain,
bibi ku dan 2 adik sepupuku sudah siap berankat. Di dalam rumah tampai paman ku
masih sibuk mengemasi pakaian, kaos-kaos dan kemeja. Paman bilang, itu untuk
baju ganti suamiku. Fikiran ku semakin tak habis fikir lagi.
Kendaraan melaju dengan perlahan, music romantic
diputarkan lembut oleh Daniel sepupuku. Aku merasa lebih tenang. Walaupun
berjuta pertanyaan berjubel di kepalaku. Sepanjang jalan bibi ku bercerita
banyak hal, tentang pekerjaan, tentang kenakalam murid-muridnya yang juga
merupakan murid-muridku. Kami asik bercerita, bertukar pendapat. Hanya paman
dan suamiku yan tampak diam, mematung, bewajah datar.
Suamiku tertidur, namun tak melapaskan genggaman
tangannya. Tetap menengam erat, seolah tak mau aku kehilangan pegangan atau
apapun tujuannya tapi saat itu aku merasa lebih tenang lagi. Sekitar 2 jam
perjalanan mobil yang kami tumpangi berhenti di sebuah pom bensin yang
menyediakan rest area. Tempat itu cukup nysmsn untuk dijsdiksn tempst
beristirahat, kami minum the hangat dan beberapa jajanan untuk menghilankan
kepenatan selama perjalanan. Ternyata sudah ada 2 rombongan menunggu kami di
sana. Mobil uwa dari Cianjur, dan satu lagi rombongan kakak-kakak sepupuku yang
turut pergi juga menuju kota Ciamis, kota kelahirannku.
Satu persatu orang-orang menyalami ku,
berbasa-basi dengan pertanyaan yang sama. Mirip dengan yang mereka tulis di SMS
: “Apa kabarmu?”. Aku tak begitu peduli, hanya menjawab dengan senyuman yang
setengah ku paksakan. Percakapan ku dan
bibi semakin tak terarah sebagian besar orang-orang membuat kerumunan
masing-masing, entah membicarakan apa, aku tk mengerti. Hal-hal aneh begitu
banyak aku temui, mulai sikap ramah yang terlalu ramah, sikap akrab yang
terlalu akrab, sikap pendiam yang mendadak hangat, atau bahkan sebaliknya,
sikap hangat yang tampak dingin, yang akrab menjauhiku, dan yang selalu
memiliki topic pembicaraan asik mendadak hambar dan basi. Aku lelah menahan
pertanyaan yang semakin mendesakku. Akhirnya satu pertanyaan keluar dari
ulutku.
Aku : “kita ini mau ke mana?”
Bibi : “mau pulang kampong, kita harus berkumpul
di sana…”
Aku : “ada apa?”
Bibi : “tak ada apa-apa, ayah mu meminta kami ke
sana”
Aku kembali diam, mencoba membuat kesimpulan
sendiri. Berbagai dugaan muncul. Aku mengira-ngira, mungkin ayahku sakit, atau
adik ku kecelakaan, atau adik-adik ku masuk rumah sakit, atau…??? Deg!
Jantungku berdetak kencang, ketika aku ingat mama ku. mama yang 2 hari yang
lalu masih menghubungiku dengan teleponnya, bertanya kabar tentang
kehamilannku, bertanya adakah keluhan yan berarti setelah kandungannku memasuku
usia 5 bulan. Tidak, mama sehat, mama ku sehat!!
Jalanan macet, seolah sengaja dibuat berlama-lama
agar aku semakin penasaran. Di persimpangan jalan mobil paling depan berhenti,
menawarkan apakah aku akan pindah tempat. Lagi-lagi aku merasa itu hanya
basa-basi saja.
*
Sampai di pekarangan rumah, aku lihat arloji di
pergelanganku menunjukkan pukul tiga pagi. Lampu-lampu terpasang begitu terang,
menerangi seluruh pekarangan. Orang-orang tampak berkerumun, berdiri
bergerombol, namun tak saling bicara, semua diam membisu. Suasana semakin
mencekam ketika aku turun dari mobil. Suamiku meraih tangan kanan ku, dan ua ku
meraih tangan kiri ku, aku berjalan dipapah oleh mereka, entah apa alasannya.
Pandangan ku tertuju ke pintu rumah, di sana
berdiri mama mertua, dan beberapa sanak saudara. Aku tahu, saat itu ada
seseorang yang meninggal dunia, salah satu anggota keluarga kami. Tapi siapa?
Aku melihat ayah ku berdiri menunggu ku, dengan
mata sembab, ia meraih ku, merangkulku, memelukku erat-erat, menangis tersedu,
tanpa mengatakan apapun. Sampai di situ aku belum mengerti apa yang terjadi,
siapa yang pergi meninggalkan kami. Di sudut ruangan adik pertamaku, tampak
murung, wajahnya sedikit lebih tegar daripada ayah ku, ia berusaha melempar
senyuman, menhiburku, kemudian merangkulku, tanpa kata, tanpa air mata, dia
memang selalu tegar mengahadapi cobaan. Mataku berkeliling mencari dua sosok
lagi, mama dan adik bungsuku. Adik bunsuku tak ku temui, dimana dia?
Aku melangkahkan kaki ke ruangan tengah, semua
orang spontan ikut berdiri dan memandangiku dengan seksama, tanpa kedip, tanpa
kata, mereka diam seribu bahasa. Hanya suamiku yang selalu menopang langkahku. Di
ruang tengah kerumunan orang yang sedang menaji dan melantunkan do’a-do’a
mengecilkan suara, melihat ku tiba di sana. Mataku menagkap sosok tubuh
terbujur kaku, ditutupi kain batik dan tempak warna putih kain kafan. Ia berbadan
lebih besar daripada adik bungsuku, lebih tinggi pula darinya. Fikiranku membuat
kesimpulan sendiri tanpa harus diberitahu oleh orang lain. Mama meninggal
dunia, meningalkanku, tanpa terlebih dahulu aku bisa menemuinya, merawatnya,
menemaninya di saat-saat terakhir nya. Tanpa sempat aku membahagiakannya,
menemani masa-masa sulit melawan penyakitnya yang sebenarnya selalu ia
rahasiakan. Aku menyesal, terlalu banyak luka yang aku goreskan di hatinya,
akubat kelakuanku, kenakalanku di masa remaja, keangkuhannku yang mementingkan
kasa depan, proses pendewasaan diri tanpa aku sadari seiring dengan itu ibuku
semakin lemah. Seolah petir menyambar, menggelegar. Ada pukulan dan hantaman
yang begitu besar menyesakkakn dadaku. Sesak, sakit sekali. Aku kehilangan
kesadaran.
Jam 7 pagi, orang-orang telah kembali berkerumun
di rumahku. Sebagian ada yang sengaja tak pulang, dan menungu subuh di rumahku.
Beberapa orang bergiliran menyolati jasad mama. Mataku tak lagi berair mata,
rasanya terlalu sakit melebihi dari sesuatu yang harus aku tangisi. Rasanya tak
rela mama ku pergi secepat itu. Ia belum menemaniku melahirkan anak yang aku
kandung, ia belum menemui cucunya dari anak pertamanya.
Kuburan telah selesai digali, beberapa orang siap
mengotong jenazah, berbagai larangan bermunculan dari mulut-mulut oaring yang
ada di sana. Katanya, orang hamil tak boleh ikut ke pekuburan, nanti ini, nanti
anu. Aku tak hirauan. Aku tetap inin mengantar ibu untuk terakhir kalinya. Aku dipapah
oleh ayahku yang kangkahnya gontai, beberapa orang mengiringi di belakangku
berjaga-jaga jika aku tak sadarkan diri lagi.
Di sisi liang lahat, aku memandang jelas, tubuh
mama ku disiram tanah, diiringi dengan do’a-do’a orang-orang yang hadir di sana
tanpa hentinya. Batinku kembali terenyuh, hancur berkeping-keping, perempuan
terhebatku harus dikubur di sana dan aku takan pernah lagi dapat bertemu
dengannya. Tak kan dapat lagi mendengar nasihatnya. Tak lagi bisa merasakan
belaiannya di rambutku ketika aku berkeluh kesah…
mama.. selamat jalan, semoga Allah menempatkanmu
di tempat terbaik Nya. Do’aku takan pernah terputus untukmu…
Setelah itu aku mulai menguatkan diri, aku ingin
tegar seperti mama, bayi dalam kandunganku harus merasa beruntung terlahir dari
rahimku sebagai ibunya. Seperti aku yang merasa sangat beruntung dilahirkan dan
dibesarkan oleh perempuan sehebat mama. Setegar mama, seistimewa mama. mama yang
tak pernah mengeluh akan sakitnya, tak pernah kalah dengan lelah, dan tak
pernah mengalah pada perasan sakit hati. Mama selalu bisa melaluinya.
Sekarang, tanggal 10 januari 2015, 3 tahun sudah mama
meninggalkan kami, semoga mama tetap damai di sana… I love u mama…
innalilahi wa inalilahi rojiun de. turut berduka atas kepergian mama. hanya dengan membaca ceritanya saja a ikut terbawa suasana sedih yg ade rasakan. semoga mama damai di sana, diberi kenikmatan kubur.
ReplyDeletekadang a cuek terharap orng tua, padahal penyesalan tidak lah datang di awal. terima kasih de tlah menyadarkan aa, betapa berharganya mereka.
makasih udah baca ;-) jangan lupa baca yan lainnya ya... ;-)
Deletemakasih... aamiin... yra...
ReplyDeletejaga hati mereka baik2 a...lakukan yang terbaik, bkin mereka bangga. jangan sampai menyesal di kemudin hari. da penyesalanmh selalu datang belakangan. mun di awalmah pendaftaran. hehe.. ;-)
sedih bu bacanya,,, terharu
ReplyDeletemakasih udah baca ...:-)
Deletebaru main ke blog atik,baca2..baru tahu ceritanya seperti ini sediih nyampe ikutan nangis bacanya 😢 jadi pengen peluk atik 😥
ReplyDeletemakasiih udah berkunjung... peluk juga... ;-)
ReplyDelete